Wednesday, February 9, 2011

MEMENTINGKAN DIRI SENDIRI (EGO KAH)

Saya pernah sampai pada satu kesimpulan bahwa semua manusia adalah egois. Egois dalam arti selalu (pada akhirnya) mementingkan diri sendiri. Hal ini didasari kenyataan (dalam pengamatan saya) bahwa semua perilaku manusia selalu dilandasi satu motif utama: keuntungan bagi diri sendiri. Bahkan, maaf, motif tersebut tak hanya berlaku pada politikus, pebisnis, ataupun para oportunis lainnya, tetapi juga pada orang-orang suci seperti nabi, atau orang-orang salih dan para pembuat kebajikan lainnya.
Saya lama merenungkan motif paling sederhana dari pertanyaan: mengapa manusia harus percaya Tuhan dan mengapa manusia harus berbuat baik? Ternyata cukup jelas. Alasan manusiawinya, ya itu tadi, motif keuntungan. Keuntungan yang berwujud kebahagiaan. Dan setiap kebahagiaan letaknya hanya di dalam hati, sehingga wajar jika segala kekayaan materil dan buah perbuatan/sikap yang tak sampai ke hati atau bahkan malah menyempitkan hati bukanlah kebahagiaan. Ia barulah merupakan keuntungan dalam horizon berpikir yang pendek dan bersifat temporer.
Manusia kebanyakan, dan kebanyakan yang tak mengenal Tuhan, sayangnya, menempuh jalan hidup dengan horizon berpikir yang terbatas seperti ini. Mereka mencari kesenangan dan harta dengan segala cara, namun proses pencariannya tak mengekalkan kebahagiaan di hati mereka. Begitu pula hasil dari pencariannya. Kebahagiaannya mudah berotasi dengan kecemasan, serta bahkan terus terkikis oleh rasa sedih dan takut kehilangan.
Kondisi tersebut jelas berbeda dengan para nabi, orang salih, dan orang-orang yang mengenal serta tunduk pada Tuhannya. Mereka diperkenankan pada horizon yang lebih jauh dan mengekalkan kebahagiaannya oleh Tuhannya. Sebagai Pencipta dan Pendesain alam beserta detil isinya, Tuhanlah yang paling tahu keadaan manusia dan tata aturan yang berlaku di alam semesta maupun dalam hati manusia. Oleh karenanya, para hamba Tuhan ini mampu meraih kebahagiaan sepanjang hidupnya, bahkan setelah akhir hidupnya di dunia. Dalam hidupnya, mereka tidak hanya berusaha dan bekerja keras untuk mendapatkan kebahagiaan, tapi mereka berbahagia dalam berusaha.

Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al Baqarah: 62 (dan banyak ayat serupa lainnya), “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Tiada kekuatiran dan kesedihan, bukankah ini indikator kebahagiaan sejati? Untuk meraih kebahagiaan ini, Tuhan secara sederhana hanya menyaratkan manusia untuk beriman lalu beramal kebaikan. Beriman kepada Tuhan, atau menghambakan diri kepada-Nya, berbeda dengan penghambaan kepada manusia. Terlepas dari mekanisme surga dan neraka sekalipun kelak, penghambaan diri manusia pada Tuhannya selalu berjalan beriringan dan berujung pada pencapaian kebahagiaan, sedang penghambaan pada manusia selalu berujung pada kekecewaan, kesengsaraan, dan penderitaan.
Demikian pula amal kebaikan, selain dicintai Tuhan, ia nyata-nyata pula melanggengkan kebahagiaan manusia. Usaha yang dilandasi niat dan amal baik kepada sesama tidak berujung selain kepada kesuksesan dan kelanggengan usaha. Hubungan baik yang terbentuk pun hanya makin menambah kedamaian dan rasa aman di hati manusia.
Kembali ke statement di awal tulisan ini, benarkah setiap manusia adalah egois? Jawabannya tentu saja tidak. Definisi egois saya di atas sedikit keliru, karena sifat egois tak hanya mementingkan diri sendiri, tapi juga sekaligus tidak peduli pada kepentingan orang lain.
Orang-orang bahagia memang mementingkan dirinya sendiri, tapi untuk mencapai hal itu, ia harus peduli pada kepentingan orang lain. Di atas segalanya, mereka tunduk pada ketentuan Tuhan dan memasrahkan segala hasil upaya kepada-Nya. Sederhana saja, karena hanya Tuhan yang mampu memberikan kebahagiaan. Jika sudah tunduk, tak ada yang layak disombongkan, dan tak ada pula yang patut dikhawatirkan. Seperti kata Letto, “Rasa kehilangan hanya akan ada, jika kau pernah merasa memilikinya.”

No comments:

Post a Comment